BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai salah satu negara bekas jajahan
Hindia Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta agama, mempunyai
ciri khas tersendiri, yang tida dipunyai oleh negara-negara lain, karena
beraneka ragam suku, adat istiadat inilah maka mengenai sitem hukum yang
berlaku berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat kekeluargaan,
golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan ditentukan oleh corak
warisan dari kolonial Hindia Belanda, sehingga hukum warisan yang berlaku di
Indonesia juga masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga negara, yaitu:
a.
untuk orang Indonesia asli,
dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat kewarisan di Indonesia
mengenal 3 (tiga) macam sistem susunan kekeluargaan yang sangat mempengaruhi
lingkungan adat yang satu dengan lingkungan hukum adat lainnya, yakni:
1.
Golongan yang bersifat kebapakan,
maka seorang isteri oleh karena perkawinan dilepaskan dari hubungan
kekeluargaan dengan orang tuanya, leluhurnya serta sanak keluarganya yang lain.
Sejak perkawinannya jika isteri masuk kedalam rumpun keluarga suaminya.
Demikian pula dengan anak dan turunannya dari perkawinan itu kecuali dalam hal
anak itu perempuan yang telah pernah kawin juga masuk dalam lingkungan
suaminya. Corak dari perkawinan yang bersifat kebapakan, dikenal dengan
perkawinan jujuran, yaitu si isteri dibeli oleh keluarga suaminya dari keluarga
isteri itu dengan jumlah uang yang disepakati dari pembelian tanah Batak, dan
inilah yang disebut jujuran atau perujuk atau Tuhor Boli, dan di tanah Gayo
dinamakan Onjong, kekeluargaan yang bersifat kebapakan di Indonesia ini juga
terdapat di daerah Ambon, Irian Jaya dan Bali.
2.
Golongan yang bersifat keibuan, di
Indonesia terdapat di tanah Minangkabau. Sejak perkawinan itu dilakukan maka
suami berdiam di rumah isterinya atau keluarganya, suami tidak masuk keluarga
isteri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan ibu saja, dan
si ayah/bapak pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak yang
lahir, dan si suami mendapat penghibaan dari isterinya baik berupa uang ataupun
barang atau ongkos-ongkos untuk keperluan rumah tangga suami isteri bersama
turunannya yang biasanya diambil oleh keluarga isteri dan milik ini dikuasai
oleh seorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu seseorang yang
paling dituakan atau tertua dari keluarga si isteri.
3.
Golongan kebapak-ibuan, di Indonesia
adalah yang paling merata yaitu golongan yang bersifat parental
yang meliputi daerah Jawa, Madura, Sumatera, Riau, Aceh dan lain-lain yang
menonjol kekeluargaannya yang bersifat parental, dan pada hakekatnya tidak
perbedaan antara suami dengan isteri dalam kedudukannya, dari akibat
perkawinannya sisuami menjadi anggota keluarga si isteri dan sebaliknya
pula sisuami menjadi anggota keluarga siisteri.
b. Untuk orang Indonesia asli yang
beragama Islam diberbagai daerah, maka hukum Kewarisan Islam sangat
berpengaruh.
c.
Untuk warga negara Indonesia yang
keturunan Tionghoa dan Eropah berlaku hukum kewarisan perdata BW.
B. Rumusan Masalah.
Dari uraian di atas, penulis mencoba membahas hukum waris
menurut Hukum Islam dan menurut Hukum Perdata (BW), dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apakah ada perbedaan dan
persamaan sistem pembagian harta waris menurut hukum Islam
dan menurut hukum Perdata (BW)?.
2.
Sejauh mana perbedaan dan persamaan
antara kedua sistem hukum kewarisan tersebut?.
B A B II
PEMBAHASAN
A. Kewarisan Menurut hukum Islam
Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu
bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari
agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan
dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum
kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang
berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan
disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian
seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang
bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal
ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah
Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah
kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan
terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka
bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan
menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam
adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam
hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan
mengenai kewarisan ini, yaitu:
a.
hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan
ahli awaris dan harta peninggalan.
c.
Ahli waris adalah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli
waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak
miliknya maupun hak-haknya.
e.
Harta warisan adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat.
f.
Wasiat adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki.
h. Baitul Maal adalah balai harta
keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut
ketentuan pasal 175 KHI adalah:
a.
Mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang
berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c.
Menyelesaiakan wasiat pewaris.
d. Membagi harta warisan diantara ahli
waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan
dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan
itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau
ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk
kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka
masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga
dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik
para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia,
secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
a.
Perkawinan.
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c.
Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada
keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli
waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan
10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
a.
Anak laki-laki (al ibn).
b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki
dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c.
Bapak (al ab).
d. Datuk, yaitu bapak dari bapak
(al jad).
e.
Saudara laki-laki seibu sebapak (al
akh as syqiq).
f.
Saudara laki-laki sebapak (al akh
liab).
g. Saudara laki-laki seibu (al akh
lium).
h. Keponakan laki-laki seibu sebapak
(ibnul akh as syaqiq).
i.
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul
akh liab).
j.
Paman seibu sebapak.
k. Paman sebapak (al ammu liab).
l.
Sepupu laki-laki seibu sebapak
(ibnul ammy as syaqiq).
m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy
liab).
n. Suami (az zauj).
o. Laki-laki yang memerdekakan,
maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak
mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a.
Anak perempuan (al bint).
b. Cucu perempuan (bintul ibn).
c.
Ibu (al um).
d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al
jaddatun).
e.
Nenek dari pihak bapak (al jaddah
minal ab).
f.
Saudara perempuan seibu sebapak (al
ukhtus syaqiq).
g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu
liab).
h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu
lium).
i.
Isteri (az zaujah).
j.
Perempuan yang memerdekakan (al
mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri
mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan
mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak
pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri
adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak
mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau
setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak
dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah
surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua
bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai
anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
a.
Seorang anak perempauan mendapat ½
bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki.
b. Dua anak perempauan atau lebih,
mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
c.
Seorang anak perempuan atau lebih,
apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu
(anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian),
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a.
Apabila hanya seorang anak laki-laki
saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli
waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya
memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz
tersebut (ashabah bin nafsih).
b. Apabila anak laki-laki dua
orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz
yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak
perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat
Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu
dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:
1. Ibu mendapat seperenam,
apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Ibu mendapat sepertiga bagian,
apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang
dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya
keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal
ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu
bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu
mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a.
Apabila sipewaris mempunyai anak
laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta
peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila pewaris hanya meninggalkan
bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
c.
Apabila pewaris meninggalkan ibu dan
bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a.
Apabila seorang pewaris meninggalkan
seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
b. Apabila seorang pewaris meninggalkan
nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6
dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris
adalah:
a.
Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis
yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
b. Orang murtad, yaitu keluar dari
agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
c.
Orang yang berbeda agama dengan
pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d.
Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka
semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari
pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun
perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain
terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
B. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut
Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat
(testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang
atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara
“testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka
dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a.
Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak,
masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana
tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua
dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang
tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal
854 BW).
c.
Apabila tidak ada orang sebagaimana
tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan
separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang
paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari
pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh
keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan
yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi
tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus.
Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan
tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun
harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah
suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini
akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan
tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan
penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan
sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat
pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin
ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan
lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga
ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan
melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada
negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak
patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a.
Mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan putusan hakim
Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan
terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara
lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c.
Mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan,
merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C. Persamaan dan perbedaan antara
sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan
antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka
berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak
perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH
Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris
berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu
jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut
Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata
maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan
individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan
dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak
menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut
oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953:
69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal
dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran
antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian
dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih,
baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal
tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian
yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH
Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau
saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam
dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan
masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu
disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan
sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam
hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
B A B III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan makalah ini,
maka penulis dapat menarik bebarapa kesimpulan,antara lain:
1. Bahwa ternyata sistem kewarisan
baik menurut ketentuan KUH Perdata maupun menurut ketentuan hukum Islam
terdapat persamaan-persmaan dan perbedaan-perbedaan.
3. Persamaannya adalah bahwa keduanya
menganut sistem kewarisan individual bilateral, yakni setiap ahli waris berhak
memperoleh warisan baik harta warisan dari ibunya, maupun harta warisan dari bapaknya,
sedangkan perbedaannya adalah terletak pada besarnya bagian masing-masing ahli
waris. Dan setelah penulis membandingkan antara kedua sistem tersebut penulis
lebih cenderung memilih sistem hukum Islam, karena lebih logis, proporsional
dan lebih adil.
B. Saran
Para hakim Peradilan Agama sebagai ujung tombak penegakan
hukum Islam seharusnya menegakkan sistem hukum kewarisan menurut Islam,
sebab hukum kewarisan menurut Islam lebih logis, proporsional dan lebih adil
dibandingkan dengan sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata, oleh karena itu
seharusnuya Lembaga yang berwenang juga harus membuat unifikasi hukum yang
melindungi dan mengayomi kesadaran hukum kewarisan Islam, sebab negara
Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abd. Manan, H., 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata dan Wewenang
Pengadilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
·
Abdurrahman, H, 1995, Kompilasi Hukum Islam, Akademika
Pressidno, Jakarta.
·
Hazairin, 1964, Tujuh serangkai Tentang Hukum, PT
Bina Aksara, Jakarta.
·
Idris Ramulyo, 1994, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Sinar
Grafika, Jakarta.
·
M. Isa Arief, dan. A. Pitlo, 1986, Hukum waris menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT., intermasa, Jakarta.
·
Moh. Rifa’i, H, 1978, Kumpulan Ilmu Fiqih Islam Lengkap, CV.
Toha Putra, Semarang.
·
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.
Intermasa, Jakarta.